"Motoooo lee" Berawal dari motivasi salah satu sahabat saya yang telah lebih dulu rajin menulis, waktu itu kami sedang chatting dan membahas tentang apa yang sebaiknya dilakukan di masa-masa "nganggur" (sebenarnya sedih juga menuliskan kata nganggur itu) ini. Kemudian dia menyarankan saya untuk lebih rajin motret dan menceritakannya dalam bentuk sebuah tulisan di blog, walopun hanya dari sebuah foto single. Ini ada sebuah kesempatan yang pas banget, hari ini saya baru pulang dari sebuah perjalanan singkat dua malam tiga hari di Kudus, jadi kali ini saya akan mencoba menulis catatan tentang perjalanan ini. Perjalanan ini diawali dengan sebuah ajakan mendadak di pagi hari dari Alina untuk ikut pulang ke kotanya, Kudus. Kudus adalah sebuah kota yang sudah lama sekali ingin saya kunjungi, jadi dengan beberapa pertimbangan segeralah saya memutuskan untuk ikut dan bersiap-siap. Perjalanan dimulai hari senin, sekitar jam 11 saya sudah siap duduk di boncengan Alina untuk menembuh jalanan siang pulang ke kotanya. Yaa, saya ga tau ya apa yg perlu di ceritakan dari perjalanan motor solo-purwodadi-kudus, tapi bagi yang pernah lewat atau pernah mendengar gosip bahwa jalanan itu rusak parah, percayalah itu bukan gosip, saya sudah merasakannya sendiri, entah bagaimana cara menjelaskannya, tapi sudah cukup lama adrenalin saya ga naik turun semenjak naek kora2 sekaten, tapi jalanan kemaren cukup membuat adrenalin saya naik hingga saya bingung antara harus ketakutan atau tertawa. Setelah perjalanan yg tak terlupakan itu, akhirnya saya tiba juga di Kudus, dan dimulailah perjalanan saya untuk mengabadikan beberapa momen dan lokasi.
Perjalanan hari pertama di Kudus tentu saja dimulai dengan mengunjungi Makan Sunan Kudus yang tetap ramai di malam hari
Dilanjutkan dengan mengunjungi Tugu Identitas Kudus yang Alina sebagai warga asli pun tak memahami sejarah dibalik berdirinya tugu ini:p
Gelanggang olahraga Badminton yang tersohor
Berfoto bersama di air mancur warna-warni di depan gelanggang olahraga
Makan malam dengan Sate Kerbau Khas Kudus
Hari berikutnya, sarapan dengan Lentok
Mengunjungi Makan Sunan Muria
Air Terjun Muria
Makan siang, Soto Kerbau
Gulai Kerbau
Makan malam, Tahu Telor Gimbal
Kalau ada yang belum tau, inilah bentuk Rumah Adat Kudus (di Museum Kretek Kudus)
Ditutup dengan mengunjungi pusat sejarah kretek Kudus, Museum Kretek Kudus.
Nah... Demikianlah catatan perjalanan saya di Kota Kudus, setengah tahun yang lalu (setengan tahun juga tulisan ini tersimpan di draft:p) berantakan memang. Kesannya adalah menyenangkan, Kudus kota santri yang ramah dan entah kenapa saya merasa logat jawa yang digunakan di Kudus tidak jauh berbeda dengan logat suroboyoan yang membuat saya nyaman, seperti di rumah sendiri, hommy! Terima kasih untuk Alina sekeluarga :)
Ah iya saya masih tetap sama, tidak bisa rajin menulis walaupun sudah membuat blog baru lagi
Entah ada hubungannya sama blog ini atau enggak, tapi
akhirnya saya sudah berhasil menyelesaikan satu tulisan yang penting dalam sejarah
studi saya, yang dulu semangat penulisannya sempat
saya hubung-hubungkan dengan langkah saya membuat dan menulis di blog ini.
Pastinya setelah menyelesaikan tulisan itu, sekarang saya
sudah melewati masa studi saya di bangku kuliah selama kurang lebih lima tahun,
cukup lama pasti bila diukur dari standar sepengetahuan orang-orang pada umumnya, tapi jujur saja meskipun telah tergolong cukup lama, saya
masih enggan melangkah keluar. Pun bila bukan karena desakan dari orang tua,
saya pasti masih santai-santai saja bergaul kian kemari dengan teman-teman
kuliah dan juga dengan tugas akhir yang sebenarnya menjemukan itu.
Ketika memang sudah selesai begitu saja, saya bilang begitu
saja karena saya tidak merasakan kelegaan luar biasa ketika keluar dari ruang sidang
kala itu, atau ketika mendapatkan tanda tangan acc dari para penguji tanda kelulusan, atau ketika nama saya telah terdaftar dalam daftar nama wisudawan, saya malah merasa bimbang, bingung tak pasti. Bukan, bukan berati
saya tidak lega, bukan berati saya tidak senang, lega tentu saja, senang juga iya, tapi... ada
yang menahan saya untuk senang maksimal, ketika sahabat, teman dekat saya masih harus bergulat dengan tugas
itu saya merasa agak hampa (iya hampa) untuk tidak bisa lulus bareng mereka, ketika setelah ini entah apa yang akan saya lakukan, dan ketika saya
mungkin harus segera beranjak dari sini, dari semua kenyamanan kota ini, dari hangatnya
cinta dan persahabatan, dari wajah-wajah yang jujur saja ternyata saya suka sekali memandanginya
setiap hari…
Bukannya tidak siap menghadapi masa depan, bukannya tanpa tujuan hidup, bukannya malas bekerja. Setelah
kuliah selama ini, saya tahu bidang apa yang ingin saya saya geluti, saya tahu
saya ingin kerja apa dan dimana, saya tahu bagaimana cara saya menghasilkan
karya pada nantinya. Namum semua itu seperti mengambang, karena memang belum ada yang
pasti…
Maka itulah pertanyaan besar yang mendasari tulisan yang mengambang ditengah keharuan mendekati
saat-saat perpisahan ini, lalu apa yang akan saya lakukan setelah ini?
Sesaat saya
teringat kata-kata salah satu dosen saya favorit yang selalu diulang disetiap
kelasnya,
“Seseorang
itu akan berkumpul dengan orang-orang yang mirip dengan dirinya”
Saat itu dia menunjuk saya dan berkata,
“Seperti mbak ini, dia berjilbab dan berkumpul denganorang-orang yang berjilbab, deretan yang sana
juga berjilbab semua, dan juga kelompok lainnya itu pasti ada kesamaan”
Saya memang duduk disamping sahabat saya dan beberapa teman lainnya yang juga
berjilbab. Meskipun kalimatnya itu sering diulang-ulang di beberapa kelasnya,
kondisinya pun tetap sama, dia benar.
Ketika beliau
mengatakan hal itu saya selalu mengikuti arahannya saat memberikan contoh dan
melihat sekeliling kelas, benar saja, saya melihat teman sekelas saya rata-rata
duduk dengan teman yang dekat dengan mereka (kecuali yang terlambat, walaupun
yang terlambat pun kadang juga udah disiapin kursi sama temennya). Saya pun
melihat persamaan dari kelompok orang-orang yang berteman dekat itu, selain
dari segi penampilan fisik yang mudah terlihat, ya mereka memiliki selera fashion
yang sama, ada juga kelompok lain yang memiliki penampilan yang berbeda tapi
memiliki hobi yang sama, ada juga yang dari hasil pengamatan saya mereka
memiliki sifat yang sama, serta cara pandang yang sama tentang sesuatu.
Yup, saya juga baru sadar saya tidak pernah bosan dengan dosen yang satu itu,
meskipun setiap kali beliau mengulang kalimat itu saya berpandangan dengan sahabat
saya yang juga berjilbab dan berbisik “ni bapak pasti seneng deh ngeliat cewek
berjilbab, haha”. Dan lagi setiap kali beliau mengatakan hal itu saya juga
menghubungkannya dengan kalimat lain yang sering saya dengar sambil
manggut-manggut,
“Kalau mau
mengetahui tentang seseorang, lihatlah dari sahabatnya dan teman-temannya”
Setelah
melalui pengamatan panjang, baik pada diri saya sendiri dan teman-teman lain, saya
semakin yakin dosen saya dan kalimat diatas itu benar. Seseorang pasti lebih
senang berkumpul dengan yang sependapat dengan dirinya tentang satu atau
beberapa hal, itu membuat mereka nyambung kalo lagi ngobrol dan sering
melakukan kegiatan bersama, trus jadi akrab, trus temenan deh. Itu kalau kita
emang uda nemuin kecocokan dari awal. Kesimpulan tambahan yang saya dapatkan
adalah ketika kita berteman dan akrab dengan seseorang, mau tidak mau pasti
saling memberikan pengaruh satu sama lain. Nah, pengaruh itulah yang membuat
kita akhirnya semakin mirip saja dengan teman-teman kita. Dengan catatan,
kemiripan itu bukan hanya soal penampilan.
Contoh nyatanya
banyak sekali disekitar kita, sekali lihat saja pasti langsung ketahuan,
termasuk salah satunya alasan saya jadi teringat kalimat dosen itu adalah saya
ngeliat foto teman saya di facebook yang lagi bareng sahabat-sahabatnya,
penampilan mereka yang mirip, dari warna dan model rambut, gaya berpakaian, dan
juga make-up nya senada walaupun tak sewarna (karena mereka bukan girlband).
Contoh
lain yang cukup menyesakkan namun membahagiakan adalah ada beberapa kelompok
teman seangkatan saya, yang mana mereka bersahabat kental, mereka -sudah-
melaksanankan sidang skripsi di waktu yang hampir bersamaan, dan mereka akan
wisuda bersamaan juga. Sementara itu, saya dan sahabat saya (tidak termasuk
yang sudah wisuda duluan dan -bahkan- sudah kerja) sekarang masih saling
menyemangati untuk segera menyelesaikan skripsi. Nah..nah…nah….
Suara itu terdengar dari depan
kost saya, salah satu temen selantai saya di tingkat 2 berlari ke balkon untuk
mengetahui sumber bunyi kencang berulang-ulang di pagi hari itu. Ternyata dia
harus kecewa, sumber suara itu bukanlah seperti yang dia harapkan, “ternyata
cah cilik dolanan trompet, tak kiro bakul panganan” (ternyata anak kecil yang memainkan
terompet, aku kira penjual makanan), ucapnya sambil mengelus perutnya.
Saya dari tadi mendengar suara itu.
Namun mengabaikannya karena sedang sibuk di depan laptop lantas tersadar, suara
terompet???? Emangnya uda deket tahun baru ya??
Setelah ngecek tanggal di sudut kanan
bawah layar, saya manggut-manggut, ya ini sudah Desember,
pertengahan Desember, Desember 2011, 2011, mendadak saya merasa kehabisan waktu…
Menerapkan manajemen waktu yang
baik memang tidak semudah menuliskannya di selembar kertas bentuk bintang dan
menempelkannya di sudut layar notebook. Saya sudah sampai disini, harusnya
dengan beberapa pencapaian yang sudah ditargetkan. Kenyataannya tidak, malah
mundur selangkah.
Gilanya, satu semester sudah saya berkutat dengan skripsi, diselingi dengan
traveling kian kemari dan belajar motret *atau sebaliknya;p* dan belum ada
perkembangan berati, baik di skripsi maupun skill motret saya (trus aq nyapo ae
sakjaneee?? Haha).Awalnya saya masih
santai-santai saja mencari jawaban dari kebimbangan saya tentang satu dua teori
dan aplikasinya, baca-baca beberapa buku, majalah, web, blog, diskusi dengan
beberapa teman dan dosen, tapi ke-santai-an itu sirna seketika ketika orang tua
menagih janji saya, yayaya target saya sendiri untuk selesai tahun ini. Jujur saja
saya panik dan mulai memaniki *lol* orang2 disekitar saya.
Bisa-bisanya saya saja pasti ini,
tapi saya yakin, ada tipe orang yang bisa belajar dengan cepat, dan ada juga
yang sedikit lebih lambat, toh akhirnya sama-sama bisa. Kali ini saya sedang
pegang quote itu, melihat kenyataan beberapa teman sudah pake toga, beberapa
sudah keluar dari ruang sidang, beberapa cek all, dan saya masih start all. Saya
tidak mau terbaca desperate dengan kenyataan ini, karena nyatanya memang tidak,
saya ini terlalu cuek dan itu berbahaya, maka saya buat tulisan ini untuk mengingatkan
diri sendiri, …
“Realize that it is Desember,
manfaatkanlah sebaik-baiknya dan berusaha sekerasnya karena tidak ada kata
terlambat, and so, you can’t back to Desember (2011) too!!”
Berawal dari beberapa quote yang berseliweran di kepala. Sebagian adalah kalimat-kalimat pembakar semangat dari sejumlah orang yang pernah saya temui.
"menulislah untuk mengkomunikasikan apa yang ada dipikiranmu"
"menulislah untuk berbagi ilmu sebagai ladang amal"
"banyak membaca merupakan dasar menulis"
"untuk menumbuhkan hobi membaca, mulailah dari buku-buku yang disuka"
Saat ini saya sedang dalam masa HARUS menulis, bukan sembarang tulisan. Tulisan itu merupakan tugas terakhir yang akan menjadi masterpiece setelah 4 tahun penuh menempuh masa kuliah. Herannya saya sama sekali tak punya gairah untuk menulis naskah wajib itu, sekalipun telah diberondong dengan pertanyaan mengenai waktu kelulusan yang masih nampak absurd.
Hubungannya dengan rentetan quote diatas adalah akhirnya saya mengembangkan sebuah quote baru berdasar rumus ATM (amati tiru modifikasi) yang berbunyi :
“untuk menumbuhkan hobi menulis, mulailah dari tulisan yang disukai”
Entah apakah saya akan suka menulis blog ini, mengingat beberapa tahun lalu saya menutup blog saya lantaran tidak ada perkembangan berati. Tapi mungkin ini langkah paling mudah yang bisa dilakukan untuk membiasakan diri. Semoga ada manfaatnya.